• Home
  • About
  • Contact
Tumblr Instagram Twitter

 joanlucky

One of my fave Indonesian singer ever, Tulus, has finally launched his new album, Gajah! Tulus' voice is amazing and his songs are very well written. The music, the rhythm, and the lyrics are classy. It's hard not to fall for his voice and music. He refused the proposal from commercial record company and chose to keep his track in indie record for the sake of his freedom of creativity. Such a true artist, indeed.

I've already purchased Album Gajah Tulus and couldn't help to play it on repeat. There are 9 songs in the album: Baru, Bumerang, Sepatu, Bunga Tidur, Tanggal Merah, Gajah, Lagu Untuk Matahari, Satu Hari di Bulan Juni, and Jangan Cintai Aku Apa Adanya. All of them are lovely and they're written by Tulus himself. God, he is awesome ~~\0/


p.s.
For those who live in Jogja and want to purchase this album, you can go to:
Toko Kaset & CD Popeye, Jl. Mataram 62 Yogyakarta 

Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
Ini nih destinasi yang paling kami tunggu-tunggu buat kunjungi: Tangsi Beach a.k.a Pink Beach! Kenapa namanya Pink Beach? Karena pasirnya berwarna pink. Well, ternyata nggak pink yang pink banget gitu sih, tapi semu-semu merah muda gitulah. Konon katanya di Indonesia cuma ada dua pantai yang punya pasir berwarna pink, satu ada di Flores di Pulau Komodo dan satu lagi ada di Lombok Timur.

Pada awalnya kami sempat ragu, jadi mau ke Pink Beach atau nggak. Masalahnya, sejak kedatangan kami ke Lombok, kami sudah mencoba menghimpun informasi seputar pantai ini ke para driver yang mengantar kami dan semuanya bilang kalau akses ke sana itu susah. Bahkan ada yang bilang kalau dia lebih milih dibayar 500rb buat nganter ke Pantai Kuta daripada dibayar 700rb buat nganter ke Pink Beach. Tapi berhubung tujuan utama kami emang ke Pink Beach, dengan modal nekat kami berangkat. Antara harap-harap cemas juga sih, khawatir mobil sewaan yang kita pake nggak kenapa-kenapa. Btw, kami sewa mobil tipe Avanza dengan harga Rp 250.000/hari, belum termasuk driver dan BBM. Untung kami ada driver handal yang biasa lewat jalur Pantura hahahaha.


Perjalanan ke Pink Beach ini memakan waktu 3 jam dari Mataram. Thank God cuaca hari itu cerah dan mood kita pun juga jadi ikutan cerah. Karena jaraknya yang jauh, kami berangkat dari penginapan sekitar jam 7 pagi. Semangat '45 pokoknya.

Hampir sama kasusnya seperti perjalanan ke Tanjung Aan, jalanan yang kita lalui mulus-mulus aja sampai kita berbelok ke jalanan yang udah nggak beraspal. Bedanya, akses jalan ke Tangsi lebih parah dan jauh lebih panjang. Pas keluar dari jalan beraspal dan ngelewatin pemukiman penduduk sih biarpun jelek jalannya tapi masih bisa ditempuh dengan kecepatan normal lah, tapi sekitar 15km sebelum pantai, kecepatan mobil cuma bisa 10 km/jam.

Perjalanan yang butuh kesabaran ekstra ini pun akhirnya (hampir) berakhir setelah kami menemukan pos masuk ke Pink Beach. Posnya sederhana banget, cuma terbuat dari kayu. Malah lebih mirip sama pos ronda gitu, dan portlanya juga cuma terbuat dari bambu. Perjalanan ala off-road menuju ke Pink Beach benar-benar berakhir begitu kami menuruni jalan tanjakan yang terbuat dari tumpukan batuan gamping. 














Kalau di foto mungkin nggak terlalu keliatan ya kalau warna pasirnya semu-semu merah muda gitu, tapi kalo liat secara langsung keliatan kok. Oh iya, kenapa pasir di sini bisa berwarna pink? Jadi warna pink ini didapat dari sepihan koral merah yang hancur lalu menjadi serpihan dan bercampur dengan pasir yang ada di pantai.


Cukup lama main-main di pantai, kami memutuskan untuk balik ke Mataram. Tapi sebelum pulang, kami menyempatkan diri buat naik ke bukit yang ada di sana. Kita yakin kalau pemandangannya bakalan jauh lebih bagus. Dan bener aja. Pemandangannya indah banget, subhanallah... Percaya atau nggak, aku hampir nangis begitu liat pemandangan dari atas sana *biarin deh dikata lebay*













Baru di Pink Beach ini kami ngerasa kalo kami emang lagi di Lombok. Pokoknya perjalanan tiga jam dan ngelewatin jalan yang super menantang itu beneran terbayarkan. Totally worth it! Kami percaya kalau masih ada banyak banget tempat-tempat seindah ini di Indonesia, and we need to see them by ourselves!
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Hari kedua di Lombok diawali dengan hujan dan sedikit banyak mempengaruhi mood kami. Keliatan banget pas mampir sarapan di Desa Puyung, Lombok Tengah buat makan Nasi Balap Inaq Esun, kami berlima nggak se-excited pas mau berangkat snorkelling. But the trip must goes on, no matter what happen with the weather.

Buat yang nggak suka pedes, Nasi Balap Puyung ini sangat tidak direkomendasikan. Pedesnya beda sama pedesnya makanan Jawa yang notabene manis, pedesnya Nasi Balap Puyung ini pedes asin dan pedesnya nggak main-main. Pedes banget, asli.

Usut punya usut, ternyata Nasi Balap Puyung Inaq Esun itu baru mulai populer tiga tahun belakangan. Nggak heran kalo ternyata ada warga Lombok yang nggak familier pas ditanyain tentang ini makanan. Istilah Nasi Balap itu sendiri tercipta karena dulu yang biasanya makan itu para pembalap yang mampir ke daerah Puyung.

















Setelah kenyang dan kepedesan, kami melanjutkan perjalanan ke Desa Sasak Sade. Ini salah satu tempat yang personally ada di daftar wajib kunjung karena aku (entah sejak kapan) tertarik banget sama pattern, dan motif kain tenun dan songket Suku Sasak itu cantik.

Nggak ada tiket buat masuk ke Desa Sasak Sade, jadi kita dipersilahkan memberi sumbangan seikhlasnya dan kita akan didampingi sama seorang guide yang bakal menuntun dan menjelaskan seluk beluk Desa Sasak Sade. Jangan lupa kasih tip juga ya buat guide-nya.


Untuk menjaga keaslian suku ini, masyarakat di Desa Sasak Sade menikah dengan sepupu mereka, entah itu sepupu jauh atau dekat. Nggak heran kalau kekerabatan di desa ini kerasa banget, dan mereka saling mengenal satu sama lain.


Belum jauh kami melangkah, ada mbak-mbak yang lagi menenun dan kami dipersilahkan buat nyobain. Ternyata menenun itu lumayan rumit dan butuh ketelitian serta ketelatenan lebih. Jadi buat kami yang belum pernah menenun sama sekali, agak kagok juga.

Di sini, para perempuan sudah diajari untuk menenun sejak kecil. Mereka nggak boleh menikah kalau belum bisa menenun dan menghasilkan sebuah kain tenun atau songket.


Benang yang digunakan untuk membuat kain di sini, dibuat sendiri dengan memintal kapas. Pewarna yang digunakan pun pewarna alami, sehingga warna yang dihasilkan juga cantik.




Kain tenun dan songket di sini dijual dengan harga mulai dari Rp. 100.000. Boleh banget kalo mau ditawar. Malah mereka bilang sendiri kalo mereka bakalan seneng kalo kita berani nawar harganya. Tapi kalo nawar ya jangan kejam-kejam banget lah ya. Satu lembar kain seukuran pasmina biasanya membutuhkan waktu satu minggu untuk menyelesaikannya. So, be rational when you bargain here. Aku berhasil beli selembar kain dengan harga Rp. 90.000,- setelah menawar secara konsisten dan cukup lama. Awalnya harganya Rp. 150.000, fyi. 



Rumah adat di Desa Sasak Sade pun khas banget. Tau kan kalo rumah-rumah di sini dipel pake kotoran kerbau? Tapi nggak bau kok. Malah yang lebih kecium aromanya adalah bau dari jerami yang dipakai sebagai atap.





Puas berkeliling Desa Sasak Sade, kami menuju ke destinasi kami selanjutnya yaitu Pantai Kuta. Bukan cuma Bali ya yang punya Pantai Kuta, di Lombok juga ada. Biasanya pantai ini dipakai buat surfing. Tapi karena cuacanya nggak begitu bagus, kami nggak liat ada yang surfing.



Ini adalah pantai pertama yang kami kunjungi di Lombok. Pasirnya berwarna cokelat muda dan cukup lembut. Pantainya juga luas banget dan banyak batuan yang cukup besar. Sayangnya settingan kamera agak kurang pas, jadi fotonya keliatan gloomy banget.






Kami nggak stay terlalu lama di Pantai Kuta dan langsung cus ke pantai selanjutnya, Pantai Tanjung Aan. Buat menuju ke Sempet nyasar cukup jauh di perjalanan, tapi berkat GPS (Global Positioning System) dan GPS (Gunakan Penduduk Sekitar) kami berhasil kembali ke jalan yang benar. Sayangnya, setelah keluar dari jalan aspal, jalan menuju Tanjung Aan ini cukup parah. Sebelas-duabelas lah sama jalan kalo mau ke Pantai Pok Tunggal. Sedikit lebih parah deng.



Pantai kedua yang kami kunjungi ini berpasir putih dan pasirnya lembut. Udah gitu warna air lautnya juga biru, jadi perpaduan antara pasir putih dan biru laut-nya bener-bener memanjakan mata. Pantainya juga luas banget dan sepi.  







Pantai-pantai di Lombok emang ternyata beneran cantik-cantik, aku sudah membuktikannya sendiri. Kalo nggak percaya boleh kok buktiin sendiri ;)

p.s
Sorry for the bad quality of the photos. Baru sadar settingannya salah pas udah balik ke penginapan. Pffft~ Tapi percaya deh, aslinya jauh lebih bagus daripada fotonya.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Hello!

About Me


Hello and welcome! I'm Joan. A social introvert who has enormous curiosity about the world. This is a space where I share bits of my experiences in this world. Enjoy!

Follow Me

  • Instagram
  • Twitter
  • Tumblr

recent posts

Blog Archive

  • ►  2021 (1)
    • ►  June (1)
  • ►  2020 (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2019 (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2017 (2)
    • ►  April (2)
  • ►  2015 (1)
    • ►  January (1)
  • ▼  2014 (10)
    • ►  December (1)
    • ►  June (1)
    • ►  April (1)
    • ▼  February (4)
      • Album Gajah Tulus
      • Lombok part 4
      • Lombok part 3
      • Lombok part 2
    • ►  January (3)
  • ►  2013 (11)
    • ►  December (2)
    • ►  October (3)
    • ►  September (1)
    • ►  April (1)
    • ►  February (1)
    • ►  January (3)

Member of


Blogger Perempuan
Twitter Instagram Tumblr

Created with by ThemeXpose